Regular-investor.com – Jakarta, Sistem pembayaran digital untuk transaksi uang elektronik melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025.
Ketentuan Pengenaan PPN
Ketentuan mengenai pengenaan PPN terhadap uang elektronik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang ditetapkan pada 30 Maret 2022. Pada saat itu, transaksi uang elektronik sudah termasuk dalam kategori objek yang dikenakan PPN sebesar 11% sejak April 2022.
Jasa Penyelenggaraan Teknologi Finansial
“PPN dikenakan atas penyerahan jasa penyelenggaraan teknologi finansial oleh pengusaha,” sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 peraturan tersebut. Jasa ini mencakup layanan pembayaran yang meliputi uang elektronik, dompet elektronik, gerbang pembayaran, layanan switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.
Pengenaan PPN pada Transaksi Uang Elektronik
Menurut situs resmi Portal Informasi Indonesia, PPN dikenakan pada kegiatan layanan atau transaksi yang menggunakan uang elektronik karena termasuk dalam kategori jasa yang dikenakan pajak. Besaran pajak tidak dihitung berdasarkan nominal transaksi. Jika saldo di platform dompet digital mencapai Rp1 juta, maka tidak akan dikenakan PPN. Namun, jika ada transaksi atau pembayaran yang menggunakan saldo tersebut, PPN sebesar 12% akan dikenakan.
Contoh: Jika kita membayar belanja sebesar Rp100.000 dengan menggunakan saldo dompet digital atau uang elektronik, akan ada biaya layanan sebesar Rp5.000 yang harus dibayarkan. Dari transaksi tersebut, PPN sebesar 12% dihitung berdasarkan biaya layanan yang dikenakan, yaitu Rp5.000.
Tarif PPN 12% Berlaku Mulai 1 Januari 2025
Pemerintah telah memutuskan untuk melanjutkan penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Tarif ini akan diterapkan secara umum dan tidak hanya terbatas pada barang-barang mewah. Indonesia tidak akan menerapkan skema multitarif dalam pengenaan PPN, meskipun sebelumnya ada usulan untuk menerapkan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah.
Pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Kita tidak akan merevisi UU, karena kita tidak menganut sistem multitarif dalam undang-undang ini. Tarif PPN yang berlaku bukan multitarif, tetapi ada pengaturan khusus yang diizinkan oleh UU, dan itu akan dituangkan dalam peraturan-peraturan turunan, baik peraturan pemerintah maupun peraturan menteri terkait,” jelas Febrio.