INFO NASIONAL – Penjabat Pengelola Papua Barat Ali Baham Temongmere bangga Ujung Jurang Farm (peternakan ayam petelur) jadi salah satu pemenang dalam Tanah Air Entrepreneurs Challenge (IEC) 2024 untuk kategori Agrobisnis juga Lingkungan.
IEC 2024 digagas oleh Tempo Group, merupakan kompetisi tahunan bagi pelaku perniagaan atau bisnis mikro, kecil, dan juga menengah (UMKM). Tahun ini banyaknya 30 UMKM yang tersebut disaring dari 62 ribu lebih besar kontestan berhasil mendapat penghargaan pada beraneka kategori.
Ali Baham berterima kasih lantaran pengusaha perusahaan dari Papua Barat ternyata masuk radar Tempo. “Ini tentunya membanggakan, Bisa jadi contoh penggerak bagi UMKM yang mana lain di Manokwari. Apalagi yang mana menang asli putra lokal Papua,” ucapannya usai acara di Westin, Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2024.
Ia berjanji akan berdiskusi dengan pemilik Ujung Jurang Farm begitu pulang ke Papua. “Nanti kami akan serahkan piala ini sesudah itu ajak bicara tentang rencananya ke depan agar kami sanggup koordinasi dengan semua instansi,” ucap pria kelahiran Fakfak itu.
Ali Baham menyadari perjuangan Ujung Jurang Farm, layaknya UMKM lain, kerap mengenai modal juga pemasaran. Salah satu cara pemerintah dapat membantu pemasaran dengan membeli item UMKM. “Nanti kami dorong, dikarenakan pemerintah itu sanggup jadi pasar.”
Ketua Umum Papua Youth Creative Hub, Simon Tabuni, mengambil bagian bangga dengan prestasi yang tersebut diraih Ujung Jurang Farm. Di Papua Barat sebenarnya ada puluhan peternakan ayam petelur. “Tapi Ujung Jurang Farm punya putra asli Manokwari. Sebelumnya berbagai khalayak bilang kalau putra asli tidaklah akan mampu untuk hal-hal (usaha) seperti ini. Tapi toh pada saat ini berhasil dibuktikan,” ucap Simon.
Melalui video Zoom pemilik Ujung Jurang Farm John Mychael Dowansiba menerima penghargaan Tanah Air Entrepreneurs Challenge (IEC) yang mana diselenggarakan dalam Hotel Westin, Jakarta, pada Jumat, 18 Oktober 2024. Dok. Tempo
Ujung Jurang Farm milik John Mychael Dowansiba. Lahir ke Manokwari. pada waktu sekolah menengah pertama (SMP), diboyong ayahnya yang tersebut tugas ke Jakarta. Kuliah pun di ibu kota. Setelah lulus, terpaksa menolak tawaran bekerja dari sebuah stasiun televisi swasta nasional lantaran dipanggil penduduk tuanya untuk pulang kampung.
Setelah sang ayah berpulang, pandemi wabah Covid-19 hadir pada Bumi Cenderawasih. Pasokan bervariasi komoditas dari pulau-pulau lain berubah jadi langka, salah satunya telur. Membuat biaya melonjak drastis. “Waktu itu satu rak (isi 30 butir) lebih tinggi dari 100 ribu rupiah, padahal tarif normal sekitar 50 ribu rupiah. Membuat saya berpikir, oh ada peluang,” cerita John melalui sambungan telepon terhadap Info Tempo.
Bersama dua temannya, John berencana memulai pembangunan peternakan ayam. Tapi rencana itu belaka sekadar wacana. Satu bulan menunggu, tiada ada kabar identik sekali. Ternyata salah satu kawannya menyebabkan peternakan sendiri. “Saya jadi tertantang. Sebagai anak asli Papua, saya berpikir, dia bisa, kenapa saya tidak?” ucap John.
Dengan modal awal Rupiah 3.300.000, John dan juga istrinya membeli 100 ekor ayam. Karena modal habis, ayam-ayam itu ditaruh di dalam di stadion semi umbaran. “Semua pakai barang bekas. Seng bekas, balok bekas. Saya cuma nekat, tertantang. Saya harus bisa.”
Setahun kemudian, John bertemu Simon Tabuni. Setelah berdiskusi, ternyata Simon berminat membantu. Keesokan harinya datang bersatu rombongan. John mendapat bantuan Rp. 150 jt untuk mendirikan kandang.
Menurut Simon, bantuan yang disebutkan berasal dari Bank Nusantara Provinsi Papua Barat, WWF Indonesia, pemerintahan Kota Teluk Wondama, eksekutif Kota Manokwari, dan juga Papua Youth Creative Hub.
Peternakan John tumbuh pesat, pada masa kini ayam peghuni markas mencapai 400 ekor. Telurnya dijual ke rumah-rumah juga dititipkan ke lingkungan ekonomi swalayan. Keunggulan telur dari Ujung Jurang Farm, klaim John, adalah kualitas. “Lebih segar, tidaklah seperti yang digunakan dibawa dari luar Papua,” katanya.
Pada 2023, peternakan John kembali disiram bantuan. Kali ini dari otoritas Provinsi Papua Barat berbentuk 200 sak pakan ayam. “Puji Tuhan, dengan bantuan itu maka kami sanggup memulai rute perkembangan stadion baru,” sebut John.
Kehadiran markas baru diperlukan lantaran lahan ke Ujung Jurang Farm hanya saja cukup untuk satu kandang, kemudian telah penuh terisi 400 ekor ayam. “Nama Ujung Jurang Farm berasal dari kedudukan tanah kami yang mana ada di bibir jurang, tak mungkin saja lagi ditambah luas lahannya,” kata John sambil terbahak.
Kebetulan, pada lahan lain milik almarhum ayahnya tidaklah terpakai. Di posisi itulah John berniat merancang markas kedua. Semangat ini mengalir deras di di tubuhnya lantaran ada satu tekad yang dimaksud ia pelihara.
“Saya ingin pasokan telur ke Manokwari dari peternak lokal saja. Tidak harus lagi kirim dari luar pulau. Sekarang kami belum sanggup memenuhi permintaan jadi terpaksa impor. Nanti kalau telah berhasil, sanggup belaka kami ekspor ke luar Manokwari, sehingga kami dapat berkontribusi membantu pendapatan asli area di kota kami,” tuturnya penuh gairah.
Ketua Umum Papua Youth Creative Hub, Simon Tabuni, di rumah kaca, salah satu infrastruktur di dalam Amanah Youth Creative Hub ke Ladong, Aceh, yang mana diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Oktober 2024. Dok. Pribadi
Apresiasi Khusus untuk Komunitas Mama
UMKM Papua Barat yang tersebut mendapat penghargaan tidak semata Ujung Jurang Farm. Komunitas ibu-ibu (di Papua disebut mama) dari Kampung Werianggi serta Werabur, Distrik Nikiwar, Kabupaten Teluk Wondama, juga meraih apresiasi dalam IEC 2024 untuk kategori Penghargaan Khusus.
Simon bercerita, nama komunitas yang disebutkan Ayawata Nikiwar. Nama Ayawata berarti “mama-mama” juga Nikiwar adalah nama distrik. “Jadi, artinya mama-mama atau ibu-ibu dari Distrik Nikiwar,” tulisnya melalui aplikasi mobile perpesanan terhadap Info Tempo.
Kampung Werianggi di Distrik Nikiwar, Simon melanjutkan, penghasil komoditas pala. “Kami menyebutnya jenis pala negeri,” ujar dia. Lazimnya petani pala, yang tersebut diambil cuma biji dan juga bunga pala, sedangkan daging pala dibuang ketika musim panen.
Sekitar 2021, World Wide Fund and Nature atau WWF kemudian datang memberi pelatihan terhadap ibu-ibu yang dimaksud untuk memanfaatkan daging pala berubah menjadi komoditas baru. WWF juga memberikan bantuan pembiayaan produksi awal lalu desain pengemasan. Hasilnya antara lain selai pala, permen pala, lalu sari pala.
Produk turunan yang disebutkan sekarang ini telah titip jual di dalam toko maupun melalui lokapasar (marketplace). Info Tempo menemukan produk-produk yang dimaksud dengan ringan menggunakan kata kunci “pala ayawata nikiwar” maka akan muncul ke beberapa orang lokapasar hingga Facebook.
“Saat ini merek didampingi oleh Papua Youth Creative Hub, Bank Tanah Air Papua Barat, pemerintahan Wilayah Teluk Wondama serta eksekutif Provinsi Papua Barat,” tutur Simon. (*)
Artikel ini disadur dari Ali Baham Bangga Putra Daerah Papua Menang di IEC 2024