REGULAR-INVESTOR.COM – Para investor asing secara signifikan mengurangi kepemilikan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) seiring dengan meningkatnya ketidakpastian global yang telah meningkatkan daya tarik dolar Amerika Serikat (AS) di pasar internasional dalam sepekan terakhir.
Penurunan minat asing terhadap instrumen jangka pendek ini telah mendorong Bank Indonesia (BI) untuk kembali menaikkan suku bunga SRBI dalam lelang yang diadakan pada hari Jumat.
Berdasarkan publikasi BI, dalam lelang SRBI yang berlangsung kemarin, investor meminta suku bunga diskonto rata-rata sebesar 6,88%, yang merupakan angka tertinggi sejak 20 September, dengan total permintaan yang masuk meningkat 18% menjadi Rp24,99 triliun.
Meskipun terdapat peningkatan permintaan dari para investor, tingkat bunga diskonto yang lebih tinggi yang diminta oleh mereka akhirnya mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan bunga diskonto SRBI. Untuk SRBI dengan tenor 12 bulan, bunga diskonto ditetapkan pada level 6,87%, yang lebih tinggi dibandingkan lelang sebelumnya yang berada di 6,83%, dan ini merupakan tingkat tertinggi sejak 13 September lalu.
Bank Indonesia juga berhasil menyerap permintaan yang lebih besar dengan menjual SRBI senilai Rp23 triliun. Ini menjadi nilai penjualan SRBI tertinggi oleh Bank Indonesia sejak akhir Juli lalu.
Langkah Bank Indonesia yang terlihat dari lelang SRBI terakhir menunjukkan bahwa bank sentral mengambil langkah defensif untuk menghadapi meningkatnya ketidakpastian di pasar global dalam beberapa waktu terakhir, yang juga telah mendorong kembali tingkat imbal hasil investasi di AS. Yield Treasury untuk surat utang AS dengan tenor 2 tahun sempat mencapai 4%, sementara tenor acuan 10 tahun kini stabil sedikit di atas 4%.
Fokus utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar, mengingat arus penjualan yang besar di SRBI dapat menyebabkan pelemahan nilai rupiah. Hingga data per 14 Oktober, BI telah menjual SRBI senilai Rp934,87 triliun, di mana posisi asing pada instrumen penampung ‘hot money’ atau dana asing jangka pendek mencapai Rp254,57 triliun. Angka tersebut setara dengan 27,23% dari total outstanding SRBI di pasar sekunder saat ini.
Posisi investasi asing di Sekuritas Valas (SVBI) dan Sukuk Valas (SUVBI) masing-masing tercatat sebesar US$3,38 miliar dan US$424 juta pada periode yang sama. “Penerbitan SRBI telah berkontribusi pada peningkatan aliran masuk portofolio asing ke dalam negeri serta penguatan nilai tukar rupiah,” ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers pengumuman BI rate, Rabu lalu.
Data dari Bank Indonesia yang mencatat setelmen transaksi dalam hampir seminggu terakhir, yaitu periode 14-17 Oktober, menunjukkan bahwa pemodal asing telah menjual SRBI senilai Rp5,31 triliun. Di sisi lain, pada periode yang sama, asing mencatat posisi net buy Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3,3 triliun dan saham sebesar Rp930 miliar.
Kepastian kabinet
Bank Indonesia (BI) tampak berupaya keras untuk mengurangi ketidakpastian global yang semakin meningkat agar tidak menyebabkan pelemahan rupiah yang signifikan, seperti yang terlihat dari aktivitas investor asing di pasar Surat Berharga Negara. Hal ini sejalan dengan keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan bulan ini setelah melakukan penurunan pada bulan September.
“Prioritas jangka pendek adalah menjaga stabilitas nilai tukar mengingat meningkatnya ketidakpastian di pasar global akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah,” ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada hari Jumat.
Meningkatnya ketidakpastian di pasar telah mengangkat nilai indeks dolar AS dan memberikan dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah. Namun, pada pekan ini, rupiah masih dapat ‘terselamatkan’ oleh kepastian mengenai susunan kabinet Presiden terpilih Prabowo Subianto yang dijadwalkan dilantik pada hari Ahad mendatang.
Sepanjang minggu ini, nilai tukar rupiah di pasar spot mengalami penguatan sebesar 0,74% dan ditutup pada level Rp15.465 per dolar AS dalam perdagangan pada hari Jumat lalu. Sementara itu, nilai tukar JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mencatat penguatan yang lebih signifikan, yaitu sebesar 0,91% ke level Rp15.466 per dolar AS.
Penguatan rupiah kali ini cukup menarik karena terjadi di tengah kondisi indeks dolar AS yang juga menunjukkan kekuatan, dengan kenaikan sebesar 0,6% ke level 103,49.
Indeks dolar AS, yang mengukur nilai tukar dolar terhadap enam mata uang utama dunia, kembali mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah. Dolar AS semakin kuat berkat data terbaru yang menunjukkan ketahanan ekonomi terbesar di dunia tersebut. Selain itu, menjelang Pemilu AS yang akan berlangsung bulan depan, pasar tampak meningkatkan ekspektasi terhadap kemungkinan kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS. Kebijakan Trump yang berencana untuk meningkatkan berbagai tarif potensial turut memperkuat posisi dolar AS.
Rupiah menunjukkan ketahanan yang baik, mengungguli sebagian besar mata uang Asia lainnya yang mengalami pelemahan. Dalam pekan lalu, hanya ada dua mata uang Asia selain rupiah yang berhasil menguat terhadap dolar AS, yaitu baht yang meningkat sebesar 0,54% dan dolar Taiwan yang naik 0,36%.
Kinerja positif rupiah pekan ini terutama dipengaruhi oleh dua faktor domestik. Pertama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dipastikan akan kembali bergabung dalam kabinet pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik besok.
Prabowo telah mengundang sekitar 108 tokoh yang diusulkan untuk menjadi menteri dalam kabinet mendatang, termasuk Sri Mulyani. Dalam pernyataannya kepada para jurnalis pada hari Senin lalu, SMI mengungkapkan bahwa Prabowo telah meminta dirinya untuk kembali menjabat sebagai menteri keuangan. “Saat pembentukan kabinet, beliau meminta saya untuk kembali menjadi Menkeu,” kata Sri Mulyani.
Kepastian tersebut memberikan rasa lega bagi pasar yang selama ini dihantui oleh kekhawatiran mengenai arah kebijakan fiskal dari pemerintahan baru, yang memiliki berbagai program populis dengan kebutuhan biaya yang sangat besar.
“SMI dikenal sebagai sosok yang handal dalam mengonsolidasikan fiskal, seorang ahli keuangan yang cerdas yang memahami cara menurunkan premi risiko bagi Indonesia. SMI pada dasarnya telah berhasil menurunkan premi risiko rupiah,” ungkap Vishnu Varathan, Kepala Ekonomi dan Strategi Mizuho di Singapura.
Dalam masa transisi ini, kepemimpinan SMI dipandang dapat meredakan beberapa kekhawatiran mengenai risiko fiskal Indonesia di masa mendatang.
Cek Berita dan Artikel lain di Google News dan WA Channel