Indonesia Diprediksi Alami Deflasi di Mei 2025, Apa Dampaknya pada Ekonomi?

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan akan merilis data inflasi Mei 2025 pada 2 Juni 2025. Berdasarkan konsensus Bloomberg, yang melibatkan 12 ekonom dan analis, Indonesia diprediksi mengalami deflasi sebesar 0,17% secara bulanan (month-to-month/mtm). Jika terwujud, angka ini jauh lebih rendah dibandingkan inflasi April 2025, yang tercatat 1,17% mtm.

Penyebab Deflasi dan Tren Harga Sembako

Penurunan harga berbagai bahan pokok menjadi faktor utama deflasi yang diprediksi terjadi pada Mei. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), beberapa komoditas mengalami penurunan harga dibandingkan Harga Acuan Pembelian (HAP) nasional:

  • Kedelai biji kering (impor): Rp 10.500/kg (9,58% di bawah HAP)
  • Bawang merah: Rp 39.794/kg (4,11% di bawah HAP)
  • Cabai merah keriting: Rp 50.018/kg (9,06% di bawah HAP)
  • Daging sapi murni: Rp 135.449/kg (3,25% di bawah HAP)
  • Daging ayam ras: Rp 34.799/kg (13% di bawah HAP)
  • Telur ayam ras: Rp 29.109/kg (3,97% di bawah HAP)

Penurunan harga ini terjadi pasca Idul Fitri, di mana permintaan terhadap kebutuhan pokok mulai menurun, menyebabkan harga beberapa bahan pangan mengalami koreksi.

Inflasi Tahunan Melambat, Daya Beli Tertekan?

Selain deflasi bulanan, inflasi tahunan pun diperkirakan melambat. Konsensus Bloomberg yang melibatkan 22 ekonom memperkirakan inflasi Mei sebesar 1,83% year-on-year (yoy), lebih rendah dibandingkan April yang tercatat 1,95% yoy.

Selain penurunan harga sembako, banyak analis berpendapat bahwa melemahnya daya beli masyarakat turut memperlambat laju inflasi Indonesia. Ketidakpastian ekonomi membuat dunia usaha enggan menaikkan harga barang dan jasa, sehingga tekanan inflasi menjadi lebih rendah.

Dampak pada Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2025 diperkirakan akan berada di kisaran 4,6-4,7%, lebih rendah dibandingkan kuartal I-2025 yang mencapai 4,87%.

Bhima mengingatkan bahwa tekanan terhadap konsumsi rumah tangga akibat gelombang PHK bisa semakin menekan daya beli masyarakat. Dengan tidak adanya momentum lebaran di kuartal II, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprediksi lebih rendah dibandingkan kuartal I.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2025 berada di level 4,7%, dan tahun 2026 diperkirakan naik tipis ke level 4,8-4,9%.

Strategi untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Bhima mengusulkan beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, di antaranya:

  1. Mendorong realisasi belanja pemerintah, khususnya belanja modal yang akan membuka lebih banyak lapangan kerja.
  2. Menunda pembahasan RUU kontroversial, seperti RUU Polri dan RUU KUHAP, guna menciptakan stabilitas politik agar masyarakat lebih percaya diri dalam membelanjakan uangnya.
  3. Memperbanyak rekrutmen karyawan BUMN, terutama bagi korban PHK yang berusia di atas 30 tahun.
  4. Meningkatkan ekspor ke China, memanfaatkan meredanya perang dagang AS-China untuk memperkuat neraca perdagangan.
  5. Menghindari penerbitan surat utang yang terlalu agresif, agar tidak mengganggu likuiditas perbankan dan daya beli masyarakat.

Kesimpulan

Deflasi yang diperkirakan terjadi pada Mei 2025 serta perlambatan inflasi tahunan menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih lemah, dan dunia usaha belum berani menaikkan harga jual barang dan jasa. Jika kondisi ini terus berlanjut, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 diperkirakan melambat ke kisaran 4,6-4,7%.

Untuk menjaga stabilitas ekonomi, pemerintah perlu mengoptimalkan belanja negara, memperkuat ekspor, dan menciptakan stabilitas politik agar kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian tetap terjaga.

Post Comment