
Saham Perbankan Besar Mengalami Penurunan
Saham dari emiten perbankan besar mengalami penurunan kembali pada Selasa (11/2/2025), melanjutkan tren negatif yang telah berlangsung dalam beberapa waktu terakhir. Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), pada pukul 10.40 WIB, saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) mengalami penurunan sebesar 3,20 persen. Dalam satu minggu terakhir, saham bank BUMN ini telah turun sebesar 13,57 persen.
Pengaruh Penurunan Rating oleh JPMorgan
Sebelumnya, analis pasar modal Michael Yeoh menyatakan bahwa penurunan yang signifikan baru-baru ini terjadi pada BMRI. “Ini disebabkan oleh penurunan rating yang dilakukan oleh JPMorgan dari neutral menjadi underweight.” Selain BMRI, saham bank milik negara lainnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) juga mengalami penurunan sebesar 1,20 persen.
Saham BCA dan BRI
Sementara itu, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang merupakan bagian dari Grup Djarum, mengalami penurunan sebesar 1,37 persen. Namun, berbeda dengan yang lain, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) justru mengalami kenaikan sebesar 0,25 persen.
Dampak Kebijakan Tarif Trump
Pasar saham Indonesia, termasuk di Asia, dipengaruhi oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang memperingatkan akan adanya tarif tambahan, termasuk untuk baja dan aluminium. Tindakan ini berpotensi meningkatkan inflasi dan membatasi kemungkinan penurunan suku bunga lebih lanjut.
“Dengan pasar yang kini harus menebak langkah Presiden Trump terkait kebijakan perdagangan selanjutnya, ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan AS telah mencapai tingkat tertinggi dalam 40 tahun, kecuali pada musim panas 2019 saat perang dagang AS-China berada di puncaknya,” kata Peter van der Welle, ahli strategi multi-aset di Robeco. Welle menambahkan, “kami memperkirakan volatilitas pasar akan tetap tinggi dalam jangka pendek, mencerminkan risiko signifikan dari kemungkinan pengumuman kebijakan perdagangan yang dapat berdampak besar terhadap China, Eropa, dan/atau Jepang.”
Prospek Perbankan Tahun 2025
Sektor perbankan diprediksi akan mengalami tantangan yang signifikan sepanjang tahun 2025. Sucor Sekuritas telah menurunkan estimasi laba untuk sektor ini akibat dari ketatnya likuiditas, meningkatnya biaya dana, serta meningkatnya risiko kredit. Tantangan ini berpotensi menekan profitabilitas dan menjaga tingkat pengembalian ekuitas (ROE) tetap dalam kondisi tertekan.
Estimasi Pertumbuhan Laba dan Kredit
Dalam laporan riset terbarunya pada Kamis (7/2/2025), Sucor Sekuritas memperkirakan pertumbuhan laba sektor perbankan hanya akan mencapai 2,2 persen di tahun 2025, dengan pertumbuhan kredit yang melambat menjadi 9 persen. Lebih lanjut, net interest margin (NIM) diperkirakan akan terus menurun seiring dengan kenaikan biaya kredit sebesar 15 basis poin.
Ketatnya Likuiditas
Persaingan di sektor perbankan untuk menghimpun dana semakin ketat, terutama dalam hal deposito berjangka dan giro. Bank-bank milik negara mulai meningkatkan suku bunga dana untuk menjaga likuiditas, dengan rasio loan-to-deposit (LDR) untuk BMRI dan BBNI telah melebihi 95 persen.
Pada bulan Oktober 2024, rasio aset likuid perbankan mengalami penurunan drastis menjadi 11,3 persen, jauh di bawah rata-rata sebelum pandemi yang mencapai 17 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa biaya dana yang tinggi kemungkinan akan bertahan lebih lama dan terus membebani margin bank. “Dengan semakin ketatnya likuiditas dan persaingan yang semakin intens dalam menarik dana pihak ketiga (DPK), biaya dana kemungkinan akan tetap tinggi, yang akan memperpanjang tekanan pada margin di seluruh sektor,” ungkap analis dari Sucor.
Meningkatnya Risiko Kredit
Setelah periode yang cukup lama dengan pencadangan yang rendah, diperkirakan biaya kredit akan meningkat seiring dengan potensi penurunan kualitas aset. Kredit untuk korporasi dan UMKM masih menunjukkan ketahanan, namun kredit konsumsi mulai mengalami peningkatan pada non-performing loan (NPL). Apabila nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan dan tekanan pada konsumsi berlangsung lama, dampaknya dapat meluas ke segmen kredit wholesale. Cadangan kerugian kredit (LLR) dari lima bank terbesar telah menurun dari puncaknya pada tahun 2022, sehingga bank kemungkinan perlu memperkuat pencadangan yang dapat semakin membebani laba.