Tantangan Bisnis Tekstil di Indonesia pada 2025
Kebijakan Impor
Kebijakan impor yang relaksasi masuknya barang-barang impor menjadi ancaman besar bagi industri tekstil domestik. Beberapa industri poliester terpaksa tutup karena kesulitan dalam mempertahankan operasional pabrik. Penurunan tarif impor dan penghapusan bea masuk untuk bahan baku tertentu berpotensi mengurangi daya saing produk tekstil dalam negeri.
Ketergantungan pada Bahan Baku Impor
Kebutuhan poliester di Indonesia diproyeksikan mencapai 500 ribu ton pada tahun 2025. Sementara kapasitas produksi domestik hanya sekitar 300 ribu ton. Selisih produksi ini menuntut investasi besar untuk mengantisipasi kebutuhan impor bahan baku. Ini tentu mempengaruhi biaya produksi dan harga produk akhir.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Rendahnya kualitas SDM yang siap bekerja di sektor industri modern menjadi tantangan signifikan. Banyak tenaga kerja belum memiliki keterampilan yang relevan dengan tuntutan industri berbasis teknologi tinggi. Akibatnya, perusahaan harus melakukan investasi besar dalam pelatihan dan pengembangan karyawan untuk meningkatkan keterampilan mereka.
Infrastruktur yang Kurang Memadai
Infrastruktur yang kurang memadai juga menjadi hambatan bagi perkembangan sektor industri tekstil. Investasi dalam infrastruktur sangat diperlukan untuk menarik investor asing dan meningkatkan daya saing produk lokal. Ketersediaan fasilitas transportasi, listrik, dan air yang memadai sangat penting untuk mendukung operasional industri tekstil yang efisien.
Ketidakpastian Regulasi
Peraturan yang tumpang tindih dan proses perizinan yang memakan waktu lama sering kali mengurangi minat investasi di sektor industri tekstil. Ketidakpastian regulasi ini membuat banyak perusahaan ragu untuk melakukan ekspansi atau investasi baru.
Fasilitas Kredit Berkelanjutan
PT Indo-Rama Synthetics Tbk (INDR) telah meraih kredit berkelanjutan atau Sustainability-Linked Trade Facility (SLTF) sebesar USD 20 juta dari Bank DBS Indonesia (DBS). Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia Lim Chu Chong menyatakan bahwa fasilitas ini merupakan bagian dari solusi yang diberikan untuk perusahaan-perusahaan yang tengah dalam transisi menuju praktik bisnis ramah lingkungan.
> “Komitmen kami untuk mendukung perjalanan keberlanjutan klien kami tercermin oleh peluncuran fasilitas sustainability-linked trade untuk Indorama. Ini menegaskan visi bersama demi mewujudkan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan,” ujar Lim Chu Chong dalam keterangan resmi, Selasa (14/1/2025).
Managing Director and Group Chief Financial Officer of Indorama, Vishnu Baldwa, menambahkan bahwa fasilitas kredit tersebut tidak hanya mendukung kebutuhan pembiayaan perseroan tetapi juga mendorong komitmen dalam mencapai peningkatan ESG di seluruh aspek operasional.
> “Indorama selalu berkomitmen untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan dan kami bangga dapat bergandeng tangan kembali dengan Bank DBS Indonesia untuk mewujudkannya,” tutur Vishnu.
Pada tahun 2024, Bank DBS Indonesia dan Indorama juga menandatangani fasilitas kredit sebesar USD 10 juta untuk memfasilitasi transisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara serta meningkatkan efisiensi energi di pabrik Purwakarta. Fasilitas ini berkontribusi terhadap pengurangan jejak karbon Indorama.
Fasilitas SLTF ini dirancang selaras dengan target keberlanjutan Indorama. Ini mendukung upaya mereka dalam meningkatkan kinerja di bidang lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Indikator kinerja utama yang terkait dengan fasilitas ini mencakup pengurangan intensitas emisi gas rumah kaca (GRK) Scope 1 dan Scope 2, pengurangan penggunaan energi, dan peningkatan efisiensi penggunaan air.
Kesimpulan
Pemerintah dan industri tekstil di Indonesia harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Dengan strategi yang tepat, peningkatan kualitas SDM, investasi dalam infrastruktur, serta kebijakan impor yang mendukung, sektor tekstil di Indonesia dapat berkembang dan bersaing di pasar global.