Pendahuluan
Dalam buku Konsep Pembangunan Manusia Masa Depan: Dari Masyarakat Nomaden Hingga Masyarakat 5.0 yang ditulis oleh Andang Widi Harto, seorang dosen tetap di Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Pada karyanya itu, Andang menuliskan hasil analisis kritisnya tentang fase perjalanan manusia dari masa ke masa, khususnya dalam kaitannya dengan hubungan manusia, alam, dan teknologi.
Pada salah satu bagian penting dalam bukunya, Andang mengkritik antroposentrisme yang menurutnya memiliki kesalahan-kesalahan secara paradigmatik. Antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai “titik pusat” dalam kehidupan telah berhasil mengeliminasi peran-peran lain di luar diri manusia, termasuk peranan Tuhan. Oleh karena itu, ideologi ini dapat membawa manusia pada kehidupan yang menyalahi fitrahnya.
Fitrah manusia adalah meyakini adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan Mastermind dalam pengelolaan semesta ini. Karena manusia tidak hanya beridentitas sebagai makhluk sosial tetapi juga makhluk spiritual, sehingga dengan demikian manusia membutuhkan hal-hal yang bersifat spiritual, dan hal-hal itu terdapat dalam agama yang membawa nilai-nilai ketuhanan. Bukti bahwa fitrah manusia itu terlahir dengan keimanan kepada Tuhan disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya;
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه البخاري ومسلم)
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci atau beriman kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).
Sementara itu, antroposentrisme menyangkal dan mengabaikan nilai-nilai spiritual yang berasal dari Tuhan, sehingga paradigma tersebut membawa manusia pada keangkuhan yang memandang seolah-olah dirinya sendiri adalah penguasa alam semesta.
Dampak Buruk Antroposentrisme
Andang Widi Harto menguraikan bahwa antroposentrisme lahir sebagai paradigma yang berhasil mendominasi sejak era agraris dan semakin mengakar kuat pada masa modern, khususnya di era Reinaisans Eropa. Ia memaparkan bahwa sejak manusia meninggalkan pola hidup nomaden dan mulai mengembangkan peradaban agraris, pandangan bahwa alam semata-mata menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia semakin mendominasi. Pandangan ini kemudian semakin menguat melalui revolusi ilmiah di era modern, yang memprioritaskan kemampuan manusia untuk mengelola dan meraup keuntungan dari alam secara lebih maksimal.
Andang secara kritis menyebutkan bahwa revolusi industri dan teknologi mempercepat destruksi (kerusakan) ekologis karena paradigma antroposentris menempatkan manusia sebagai “pusat” atau “penguasa” alam. Penekanan pada produksi dan konsumsi demi kemajuan manusia mengabaikan keseimbangan ekosistem, yang akhirnya membawa dunia pada krisis lingkungan yang kita alami saat ini.
Bahkan, lebih buruknya lagi, antroposentrisme yang pada mulanya ingin menciptakan peran lebih kepada manusia (humanisasi) dalam perkembangannya malah berubah seiring dengan kemajuan teknologi-teknologi buatan manusia yang justru mengeliminasi peran manusia itu sendiri, dan bertendensi kepada dehumanisasi. (Harto, 2024: 195).
Kenapa dapat menjadi paradoks dan boomerang sepeti itu? Karena pada saat manusia mengabaikan nilai-nilai ketuhanan untuk menjadi aturan dalam kehidupannya, manusia akan membuat aturan sendiri sekehendaknya yang cenderung didorong oleh hawa nafsu yang buruk, tanpa mempertimbangkan dampaknya secara cermat, yang penting memenuhi hasrat egoismenya.
Pada awalnya bermaksud ingin memberikan ruang yang luas dan bebas untuk manusia merefleksikan kreativitasnya, namun ternyata apa yang diciptakan oleh manusia itu sendiri malah menghapus peran manusia. Tetapi yang lebih mengkhawatirkannya lagi, adalah apa yang diceritakan dalam film The Terminator, ketika robot yang diciptakan oleh manusia itu malah menghajar manusia sebagai penciptanya, karena robot memang tidak diciptakan untuk bermoral.
Nah, antroposentrisme ini justru akan membawa manusia pada watak keangkuhan seperti robot, seolah paling berkuasa dan dapat melakukan segalanya tanpa aturan, menentang nilai-nilai moral dan membangkang kepada penciptanya, yakni Tuhan.
Antroposentrisme: Ideologi Anti Tuhan
Salah satu poin paling menarik dalam buku ini adalah argumen Andang yang menyebut antroposentrisme sebagai ideologi yang secara konseptual dapat dianggap “anti Tuhan.” Ia menjelaskan bahwa paradigma ini kontradiktif dengan nilai-nilai spiritual yang menempatkan Tuhan sebagai titik sentral (teosentris) segala sesuatu. Dalam berbagai tradisi agama, alam tidak hanya dipandang sebagai sumber daya, tetapi juga sebagai ciptaan Tuhan yang sakral dan harus dihormati.
Andang menyoroti bahwa antroposentrisme mengikis rasa tanggung jawab manusia terhadap alam, karena manusia memosisikan dirinya sebagai penguasa absolut terhadap alam. Sikap ini, menurutnya, tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menghilangkan kesadaran akan tanggung jawab moral dan spiritual yang seharusnya melekat pada manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sebagaimana yang ditulisnya dalam buku tersebut, bahwa, “Pandangan antroposentris pada dasarnya menganjurkan manusia untuk lepas dari nilai-nilai agama. Semua nilai-nilai kehidupan pada dasarnya dapat dirumuskan oleh akal manusia berdasarkan kepentingan manusia” (Harto, 2024: 195)
Selanjutnya, Andang juga mengatakan bahwa antroposentrisme ini sebagai ideologi yang membunuh peran Tuhan, “Pada peradaban yang berkembang dengan paradigma antroposentris yang ‘mematikan Tuhan’, konsekuensinya ialah pengabaian nilai-nilai agama dan budaya, dengan pandangan yang ‘mematikan Tuhan’ tersebut, paradigma antroposentris cenderung mereduksi nilai-nilai yang berlaku dalam peradaban manusia ke arah nilai materi.” (Harto, 2024: 195).
Penutup
Buku Konsep Pembangunan Manusia Masa Depan: Dari Masyarakat Nomaden Hingga Masyarakat 5.0 adalah bacaan penting bagi siapa saja yang ingin memahami akar permasalahan hubungan manusia dengan alam, khususnya dalam konteks antroposentrisme. Andang Widi Harto secara tajam menunjukkan bahwa paradigma antroposentris tidak hanya berbahaya secara ekologis tetapi juga mengancam nilai-nilai spiritual manusia.
Melalui kritiknya yang mendalam dan gagasan solutif, Andang mengingatkan bahwa masa depan manusia tidak dapat dibangun di atas penghancuran alam dan penyangkalan terhadap nilai-nilai ketuhanan. Buku ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana manusia harus mendefinisikan ulang perannya di tengah perubahan dunia yang semakin kompleks, dengan mengedepankan harmoni antara teologi, teknologi, dan ekologi.