REGULAR-INVESTOR.COM – Perekonomian Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar 5,04% pada kuartal III-2024, menurut hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Bloomberg terhadap 34 ekonom.
Angka prediksi ini lebih tinggi dibandingkan dengan estimasi sebelumnya yang mencapai 5,03%. Jika prediksi ini terwujud, maka perekonomian domestik akan mengalami sedikit perlambatan, mengingat pada kuartal II lalu, Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh sebesar 5,05%.
Secara keseluruhan, untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai 5%, yang sedikit melambat dibandingkan dengan capaian tahun lalu yang sebesar 5,05%. Namun, perlambatan ini diperkirakan akan berbalik pada tahun 2025, di mana para ekonom memproyeksikan Indonesia akan bangkit kembali dengan pertumbuhan sebesar 5,10%.
Hasil survei yang dilaksanakan antara 17 hingga 24 Oktober menunjukkan bahwa para ekonom memperkirakan potensi resesi di Indonesia dalam 12 bulan mendatang mencapai 8%, berdasarkan pendapat enam responden.
Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan survei pada bulan September yang mencatatkan probabilitas sebesar 5%. Sementara itu, survei pada bulan Juli menunjukkan bahwa probabilitas resesi ekonomi domestik berada di angka 0%.
Ekonom dari Bloomberg Economist, Tamara Mast Henderson, mengungkapkan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2024 mengalami hambatan, yang terlihat dari indikator-indikator aktivitas ekonomi.
“Walaupun bank sentral berusaha meminimalkan dampak pengetatan moneter terhadap permintaan domestik, laju pertumbuhan juga menunjukkan perlambatan pada kuartal pertama, seiring dengan normalisasi pengeluaran pemerintah setelah Pemilu pada bulan Februari lalu,” ungkap Tamara dalam laporan yang dirilis kemarin.
Ia memperkirakan bahwa Indonesia akan mencapai pertumbuhan sebesar 5% pada kuartal III, namun akan mengalami penurunan lebih lanjut pada kuartal ini dengan pertumbuhan yang diperkirakan hanya 4,95%. Proyeksi ini berada di bawah konsensus pasar terbaru.
Pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan tanda-tanda perbaikan, dengan tingkat pengangguran yang telah menurun signifikan dari 7,07% pada puncak pandemi di tahun 2020, kini berada di angka 4,82%.
Namun, survei terbaru menunjukkan bahwa rencana perekrutan untuk kuartal III mengalami stagnasi, bahkan bisa dikatakan mengalami penurunan, terutama di sektor manufaktur.
Saat ini, pasar sedang menghadapi peningkatan ketidakpastian menjelang Pemilihan Presiden Amerika Serikat yang akan berlangsung pada awal November mendatang.
Ketidakpastian ini telah menyebabkan arus modal keluar dari pasar domestik dalam seminggu terakhir, dengan total mencapai US$ 191,5 juta. Selama kuartal III, dana asing yang keluar tercatat minimal US$ 518,3 juta hingga saat ini, berdasarkan data dari Bloomberg.
Kepergian investor asing tidak terlepas dari keputusan para pemodal untuk mengurangi investasi di aset berisiko. Indeks saham di berbagai negara mengalami penurunan, mengikuti aksi jual yang terjadi di Wall Street. Penyempitan selisih imbal hasil antara Indonesia dan Amerika Serikat, seiring dengan lonjakan yield Treasury yang mencapai 4,26%—tertinggi sejak Juli—berdampak pada penjualan surat utang Indonesia dan menekan nilai rupiah.
Kekhawatiran utama saat ini berfokus pada pemilihan presiden AS dan prospek kondisi fiskal negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut. Dengan semakin dekatnya probabilitas kemenangan antara Donald Trump dan Kamala Harris, pasar mulai waspada terhadap kemungkinan peningkatan defisit fiskal AS, mengingat kedua kandidat memiliki program yang dapat meningkatkan pengeluaran anggaran secara signifikan. Hal ini berpotensi mendorong inflasi.
Mengenai Trump, jika ia terpilih kembali, dampaknya terhadap aset pasar berkembang diperkirakan akan negatif. “Kemenangan Trump akan menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan prospek nilai tukar rupiah, terutama terkait rencana kebijakan tarifnya. Kami memperkirakan bahwa kebijakan tarif sebesar 60% untuk barang impor dari China dan 10% untuk barang dari negara lain dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,6 poin persentase,” ungkap Lloyd Chan, Strategist MUFG Bank, seperti yang dilaporkan oleh Bloomberg.
Dengan semakin ketatnya pembatasan perdagangan, ditambah dengan kondisi ekonomi China yang masih lemah, serta posisi Tiongkok sebagai mitra dagang utama Indonesia untuk pasar ekspor, situasi ini akan menciptakan dampak negatif ketika aktivitas perdagangan global terhambat oleh berbagai kebijakan tarif.
Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini mengeluarkan proyeksi terbaru mengenai pertumbuhan ekonomi global untuk tahun depan. IMF menurunkan estimasi pertumbuhan untuk tahun 2025 dan memberikan peringatan mengenai meningkatnya risiko, mulai dari konflik bersenjata hingga proteksionisme dalam perdagangan. Meskipun demikian, lembaga ini memberikan apresiasi kepada bank sentral yang berhasil mengendalikan inflasi tanpa menyebabkan resesi di berbagai negara.
Produksi global diprediksi akan mengalami pertumbuhan sebesar 3,2%, mengalami penurunan sebesar 0,1 poin persentase dibandingkan dengan estimasi bulan Juli. Hal ini disampaikan dalam pembaruan Prospek Ekonomi Dunia yang dirilis pada hari Selasa (22/10/2024). Proyeksi untuk tahun ini tetap konsisten di angka 3,2%, sedangkan inflasi diperkirakan akan melambat menjadi 4,3% pada tahun depan, turun dari 5,8% di tahun 2024.
Cek Berita dan Artikel lain di Google News dan WA Channel