Jakarta – Pada penghujung masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sederet klaim keberhasilan pemerintah ke sektor kegiatan ekonomi padat diberitakan. Namun catatan kritis juga dipaparkan sebagian pengamat, seperti anjloknya rupiah hingga perkembangan dunia usaha yang dimaksud stagnan pada era Jokowi.
Ekonom senior sekaligus praktisi keuangan dan juga investasi, Adrian Panggabean, merangkum enam permasalahan selama satu dekade Nusantara dipimpin oleh Joko Widodo. “Dari tidaklah ada kemajuan, kemajuan yang kecil, hingga ketidakmampuan untuk memanfaatkan peluang negara,” demikian dipaparkan Adrian lewat pernyataan tercatat yang digunakan diterima Tempo, Hari Sabtu 19 Oktober 2024.
Pertama adalah di dalam bursa saham yang mana mencerminkan dinamika di lapangan dari sektor keuangan lalu sektor riil, menurut beliau kondisinya kurang menarik. Angka Harga Saham Gabungan pada masa awal Jokowi menjabat yakni Oktober 2024 parkir ke 5.068, pada penutupan perdagangan pekan ini IHSG ke level 7.760.
Kedua adalah stagnasi peningkatan barang domestik bruto. Jika ditotal rata-rata peningkatan sektor ekonomi RI selama 10 tahun berada pada kisaran 3,85 persen. Perekonomian memang benar sempat dihantam pandemi pada 2019 kemudian 2020. Hingga triwulan III 2024, kegiatan ekonomi RI bertambah sebesar 5,1 persen.
Selanjutnya suku bunga deposito di bank yang digunakan tinggi. Perkembangan kredit melemah lantaran suku bunga acuan hanya sekali turun 170 basis poin. Poin keempat adalah rasio pajak yang dimaksud menurut Adrian tidak ada ada perkembangan sebanding sekali.
Kelima nilai tukar rupiah juga anjlok, Adrian mengumumkan situasi ini sebagai penurunan terburuk pada 25 tahun terakhir. Selama satu dekade, rupiah paling kuat pada level Simbol Rupiah 11.600 per dolar Amerika Serikat kemudian sempat menyentuh level terendah Rupiah 17.000 per dolar AS. “Selama masa kepresidenan Jokowi, nilai mata uang turun sekitar 40 persen, sebuah penurunan yang sangat suram,” ujarnya.
Terakhir adalah peringkat surat utang negara. Lembaga pemeringkat globus memberi rating BBB pada obligasi RI, artinya mempunyai kapasitas yang dimaksud memadai untuk memenuhi komitmen keuangan, tetapi rentan terhadap fluktuasi keadaan perekonomian. Adrian memaparkan kondisi ini berarti tiada ada kemajuan mirip sekali.
Kritik juga datang dari Ekonom dari lembaga riset Bright Institute, Awalil Rizky. Dia mengemukakan meskipun cadangan devisa RI tercatat naik, namun kenaikannya tipis pada era Jokowi. “Era SBY cadangan devisa naik tiga kali lipat,” ujarnya.
Cadangan devisa memang benar bertambah, namun menurut ia rupiah justru melemah, hal ini menunjukkan memang benar ada masalah. Awalil juga menyatakan sederet target yang mana tak terpenuhi seperti pertumbuhan kegiatan ekonomi kemudian pendapatan yang tersebut sedikit akibatnya utang membengkak.
Jokowi memulai masa jabatan pada 2014, dengan utang warisan dari Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebesar Mata Uang Rupiah 2.608,7 triliun. Berdasarkan Laporan Prestasi APBN yang mana dikeluarkan Kementerian Keuangan hingga akhir September, utang pemerintah telah lama menembus Rupiah 8.641 triliun.
Artikel ini disadur dari 6 Kritik Kebijakan Ekonomi Jokowi: Rupiah Terpuruk hingga Membengkaknya Utang