Perekonomian Indonesia Lesu, Konsumsi Melemah di Tengah Tantangan Industri

Indikator Ekonomi Indonesia Mengalami Pelemahan

Perekonomian Indonesia tengah mengalami perlambatan yang terlihat dari beberapa indikator utama, seperti Indeks Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Menurut data terbaru Bank Indonesia (BI), IPR hanya tumbuh 5,5% secara tahunan pada Maret 2025, jauh lebih rendah dibandingkan Maret 2024 yang mencapai 9,3%.

Sementara itu, pada April 2025, IPR diprediksi mencapai 231,1, dengan kontraksi sebesar 2,2% YoY.

IKK juga menunjukkan tren pelemahan. Pada Maret 2025, indeks berada di 121,1, turun dibandingkan bulan sebelumnya di 126,4. Namun, pada April 2025, terjadi sedikit pemulihan ke 121,7.

Dampak Pelemahan Konsumsi terhadap Sektor Industri

Ekonom Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank, menjelaskan bahwa IPR dan IKK sering berjalan seiring. Saat permintaan konsumen turun, pengeluaran terhadap barang tahan lama seperti kendaraan juga menurun.

Salah satu industri yang terdampak adalah otomotif, di mana permintaan mobil baru mengalami penurunan, sementara penjualan mobil bekas justru meningkat.

“Meskipun saat ini ada hype penjualan mobil EV dan mobil baru, tidak semua konsumen tertarik, terutama yang terdampak PHK di industri manufaktur,” ujar Josua dalam konferensi pers PIER Q1 2025 Economic Review, pada 14 Mei 2025.

Faktor Penyebab Konsumsi Melemah

Pelemahan ekonomi juga berimbas pada belanja masyarakat saat Lebaran, yang tidak seantusias tahun-tahun sebelumnya. Faktor utama yang memengaruhi kondisi ini adalah tidak adanya peningkatan pendapatan secara signifikan bagi masyarakat.

Untuk mengantisipasi penurunan konsumsi lebih lanjut, Josua menegaskan perlunya kebijakan intervensi, seperti:

  • Bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat berpendapatan rendah
  • Penciptaan industri baru bagi kelas menengah

Revitalisasi Industri Padat Karya dan Sektor Alternatif

Josua menggarisbawahi pentingnya revitalisasi industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki.

“Kondisi pelemahan industri padat karya ini sudah berlangsung lebih dari 10 tahun,” tegasnya.

Industri tekstil Indonesia terus kalah bersaing di pasar global, menyebabkan penurunan ekspor. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan insentif seperti pendanaan dan modal guna mempertahankan sektor ini.

Selain itu, Josua menyebutkan peluang peralihan tenaga kerja dari manufaktur ke sektor pertanian sebagai strategi mengatasi tingginya angka PHK.

“Jika peralihan SDM ke pertanian berhasil, produktivitas pertanian bisa meningkat dan ketahanan pangan nasional akan lebih kuat,” ujarnya.

Optimalkan Sektor Pariwisata untuk Pemulihan Ekonomi

Sektor pariwisata (tourism) juga belum dimanfaatkan secara maksimal oleh banyak pemerintah daerah, meskipun memiliki peran besar bagi UMKM dan perekonomian lokal.

Menurut Josua, sektor ini bisa menjadi solusi bagi tenaga kerja yang terkena PHK, dengan menciptakan lapangan kerja dan usaha produktif guna mempertahankan pendapatan mereka.

“Bagaimana agar masyarakat yang terkena PHK bisa tetap bekerja, tetap berusaha, tetap produktif? Itu tantangan yang harus diatasi agar dampak PHK bisa diminimalisir,” tutupnya.

Post Comment