Tantangan Ekonomi Indonesia di Tahun 2025: Premanisme, Defisit APBN, dan Penurunan IHSG
Premanisme dan Dampaknya pada Dunia Usaha
Baru-baru ini, tuntutan dari pengemudi ojek online dan organisasi masyarakat untuk mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dari aplikator dan pemilik bisnis menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha. Fenomena yang dianggap sebagai tindakan premanisme ini mencerminkan kurangnya kepastian hukum di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menghambat masuknya investasi asing.
Tingginya beban biaya bagi pengusaha membuat banyak dari mereka mempertimbangkan ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini menimbulkan nostalgia akan era Presiden Soeharto, ketika pemerintah memberantas premanisme untuk menciptakan stabilitas yang menarik bagi investor. Tidak heran, pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8-10 persen. Sebaliknya, kondisi saat ini menunjukkan tren menurun dengan banyaknya korupsi dan penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Kualitas SDM dan Kompetisi dengan Negara Tetangga
Indonesia saat ini tertinggal jauh dalam kualitas SDM dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Kurangnya daya saing SDM dan tarif pajak yang tidak kompetitif membuat negara-negara tersebut menjadi tujuan utama bagi investor asing, sementara Indonesia semakin kehilangan daya tariknya.
Baca Juga : Kondisi Pasar Batu Bara dan CPO di Awal 2025
Analisis Target Pertumbuhan GDP 8%
Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan GDP sebesar 8%. Namun, analisis terhadap empat komponen utama GDP menunjukkan berbagai tantangan yang signifikan:
- Konsumsi: Daya beli masyarakat menurun, terutama di kalangan menengah ke bawah yang kehilangan penghidupan.
- Investasi: PHK dan penutupan pabrik meningkat, sementara banyak pengusaha memilih memindahkan usahanya ke Vietnam.
- Belanja Negara: Efisiensi anggaran, meskipun diperlukan, berdampak negatif pada sektor aviasi, hotel, dan penerbangan.
- Net Ekspor: Sektor batu bara dan kelapa sawit diharapkan menopang ekspor, tetapi peningkatan produksi batu bara di China menekan permintaan.
Melihat kondisi ini, target GDP 8% tampaknya sulit dicapai tanpa perubahan signifikan.
Defisit APBN di Awal Tahun
Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa hingga Februari 2025, APBN mengalami defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% dari PDB. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir defisit terjadi di bulan Februari. Sebagai pembanding, pada Februari 2024, APBN mencatat surplus Rp22,8 triliun.
Baca Juga : Defisit APBN Awal 2025: Pendapatan Negara Turun 20% dan Tantangan Ekonomi Indonesia
Meskipun defisit ini masih dalam batas target APBN (2,53% dari PDB), para ekonom menganggap ini sebagai tanda yang mengkhawatirkan. Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mencatat bahwa tren defisit di awal tahun dapat menjadi sinyal potensi masalah fiskal di masa depan.
IHSG dan Sentimen Negatif Pasar
Dampak ekonomi ini juga tercermin di pasar modal. Morgan Stanley menurunkan peringkat IHSG menjadi underweight (UW) dari sebelumnya equal-weight (EW). Bank investasi global, Goldman Sachs, mengikuti langkah serupa dengan menurunkan rekomendasi aset investasi Indonesia, termasuk saham dan obligasi. Hal ini dipicu oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang melemah dan meningkatnya risiko fiskal.
Baca Juga : Impor Batu Bara di Bawah Pengawasan: Bagaimana China Mengatasi Kelebihan Pasokan?
Indonesia gelap menambah keyakinan bahwa IHSG akan terus mengalami penurunan dan ada kemungkinan terjadinya resesi ekonomi di Indonesia. Saat ini, saya melihat IHSG belum berada di titik terendah, meskipun telah mengalami penurunan sejak awal tahun 2025. Saya optimis IHSG akan terus merosot, dan banyak saham yang akan jatuh, terutama bank himbara yang menurut pandangan saya akan mengalami penurunan paling signifikan.
Kesimpulan
Tantangan ekonomi Indonesia di tahun 2025 sangat kompleks, mulai dari premanisme yang mengganggu pelaku usaha hingga defisit APBN dan tekanan di pasar modal. Dengan kondisi konsumsi yang lemah, investasi terbatas, dan penurunan ekspor, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tanpa itu, target GDP 8% akan sulit dicapai, dan pasar modal akan terus menghadapi tekanan yang signifikan.
Post Comment