Jakarta – Ekonom dari lembaga riset Bright Institute, Awalil Rizky, memaparkan selama 10 tahun Presiden Jokowi memimpin, nilai utang pemerintah melonjak drastis.
Awalil mengatakan presiden ketujuh RI itu buruk pada mengatur utang pemerintah. Laju kenaikan utang selama satu dekade tercatat cukup pesat. “Enggak hanya sekali nominalnya, tapi rasionya pun memburuk,” kata beliau pada Webinar Evaluasi 10 Tahun Perekonomian Jokowi yang dimaksud dijalankan daring, Selasa, 15 Oktober 2024.
Jokowi memulai masa jabatan pada 2014, dengan utang warisan dari Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebesar Rupiah 2.608,7 triliun. Berdasarkan Laporan Kemampuan APBN yang tersebut dikeluarkan Kementerian Keuangan hingga akhir September, utang pemerintah sudah pernah menembus Rupiah 8.641 triliun.
Pada era SBY terbentuk tren penurunan rasio utang terhadap PDB. Di 2004-2009, rasio utang terhadap Ekonomi Nasional berkurang 28,23 persen poin serta pada periode kedua SBY 3,69 persen poin. Sementara era Jokowi yakni 2014-2019 justru bertambah 3,69 persen poin kemudian dalam periode kedua naik lagi 5,55 persen poin.
Pada 2014, rasio utang terhadap item domestik bruto (PDB) berada pada kisaran 24 persen. Saat ini rasio utang naik hampir 40 persen terhadap PDB.
Meski rasio utang kerap dianggap aman oleh sebab itu berada di bawah 60 persen, namun kenaikan pertanda keuangan negara makin renatan. Bunga utang akhirnya menjadi beban berat selain pembayaran cicilan pokok.
“Rapor merah untuk pengelolaan utangnya Presiden Jokowi ini adalah bayar bunga dan juga cicilannya makin besar dibandingkan dengan pendapatannya,” kata Awalil.
Debt service ratio atau beban utang pemerintah yang terdiri dari bunga dengan pokok sudah ada mencapai 40 persen apabila dibandingkan dengan pendapatan negara. Angka ini sangat dibandingkan sewaktu Jokowi memulai masa pemerintahan, kala itu debt service ratio masih kurang dari 20 persen.
Masalah utang ini akhirnya ditanggung pula oleh pemerintahan selanjutanya. Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, sempat mengumumkan bahwa tahun depan sekitar 45 persen pendapatan negara habis untuk untuk membiayai utang.
Pada 2025, penerimaan negara ditetapkan Rupiah 3.005 triliun. Dari bilangan yang dimaksud Rupiah 1.353,2 triliun akan segera dipakai untuk membayar utang. Terdiri dari Mata Uang Rupiah 800,3 cicilan pokok lalu Rupiah 552,9 bunga. Karena itu pemerintah harus mencari cara meningkatkan pendapatan.
Beban utang jatuh tempo Simbol Rupiah 800 triliun akan ditanggung oleh pemerintahan era Prabowo Subianto tiap tahun sejak 2025-2027. Utang ini berasal dari pinjaman untuk menanggulangi pandemi Covid-19.
Artikel ini disadur dari Rapor Merah 10 Tahun Jokowi, Ekonom: Rasio Utang Melonjak Dibanding Era SBY