Jakarta – Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memprediksi deflasi lima bulan beruntun di Nusantara akan berlanjut hingga Oktober 2024. Menurutnya, deflasi kali ini merupakan indikasi kuat terjadinya pelemahan daya beli. “Jika deflasi cuma terjadi 1-2 bulan, bisa saja jadi lantaran ada lonjakan produksi atau penguatan nilai tukar rupiah sehingga hasil impor mengalami penurunan harga,” kata Wijayanto untuk Tempo, Senin, 7 Oktober 2024.
Tetapi, ia menambahkan, deflasi kali ini berlangsung lima bulan berturut-turut, sehingga menandakan ada pendorong lain pada baliknya. “Dan kemungkinan akan berlanjut bulan Oktober 2024,” ujarnya.
Ada beberapa perkembangan yang disebut sebagai indikasi kuat pelemahan daya beli. Wijayanto menunjukkan penurunan jualan semen, penurunan pemasaran mobil lalu rumah, penurunan nilai tabungan warga menengah bawah di bank, semakin tingginya kredit macet pinjaman online, kemudian kenaikan kredit macet perbankan.
Data Purchasing Managers Index (PMI) – ukuran arah tren ekonomi ke bidang manufaktur – yang terus-menerus berada ke bawah 50 pada beberapa bulan terakhir juga total pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dimaksud kian meningkat disebut memperparah keadaan. Menurut Wijayanto, hal itu menggambarkan produsen merasa pesimis dengan prospek bisnisnya. “Tantangan pemerintah ke depan sangat berat untuk mendongkrak demand sekaligus supply agar dunia usaha kita terus berputar,” kata dia.
Hal sejenis diutarakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Menurut dia, deflasi disebabkan demand pull inflation yang digunakan rendah. Artinya, sisi permintaan belum sanggup memacu harga jual barang jasa naik.
Bahkan, menurut Bhima, deflasi kali ini merupakan fenomena bukan normal. “Indonesia usia produktifnya sedang booming, tapi kenapa deflasi? Ini adalah tanda abnormal bagi sebuah dunia usaha negara berkembang,” kata beliau terhadap Tempo.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Angka Harga Pengguna (IHK) pada September 2024 tercatat sebesar minus 0,12 persen (MtM). Angka yang disebutkan menunjukkan tren deflasi beruntun selama lima bulan terakhir sejak Mei 2024. Rinciannya adalah deflasi 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, kemudian 0,03 persen pada Agustus. Inflasi tahunan tercatat sebesar 1,84 persen yoy dan juga kenaikan harga tahun kalender 0,74 persen (year-to-date/ytd).
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sempat meminta-minta mengajukan permohonan pemicu deflasi dicek kembali, apakah sebab penurunan harga-harga barang atau memang sebenarnya ada daya beli rakyat berkurang. Jokowi mengungkapkan deflasi kemudian pemuaian sama-sama harus dikendalikan agar bukan merugikan semua pihak.
Wijayanto mengusulkan beberapa langkah yang mana perlu dijalankan pemerintah agar merawat deflasi lalu pemuaian terus stabil. Pertama, menurut beliau pemerintah harus menghidari melakukan “kejutan-kejutan kebijakan”. Ia menilai, “Dalam konteks ini, pemerintahan Pak Jokowi di antaranya lemah.”
Beberapa contoh “kejutan-kejutan kebijakan” yang dimaksud ia berikan termasuk terkait Ibu Pusat Kota Nusantara (IKN), langkah terkait impor beras, kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng, juga rencana pengenaan pajak 200 persen untuk komoditas impor dari Cina.
Upaya lain yang digunakan dapat diwujudkan oleh pemerintah, menurut Wijayanto, adalah menimbulkan koordinasi antar instansi pemerintah seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan berubah menjadi lebih besar padu. Ia juga memandang BI sebagai pilar utama stabilitas makro harus diperkuat posisinya juga diperluas otoritasnya.
Antara berkontribusi di penulisan artikel ini.
Prabowo Kemungkinan Bakal Tambah Anggaran Makan Bergizi Gratis
Artikel ini disadur dari Ekonom Prediksi Deflasi Beruntun akan Berlanjut hingga Oktober 2024